Sabtu, 24 Desember 2011

testosteron

Ketika Pria Kekurangan Testosteron 

Pada pria usia produktif, sindroma kekurangan testosteron bisa menurunkan kualitas hidup. 


Sepintas, tak ada yang kurang pada Bramantyo. Ia tampan, mapan, punya istri yang baik dan cantik, serta anak-anak yang sehat. Tapi siapa sangka, pria yang tampak sempurna ini ternyata punya masalah yang membuat hidupnya kini terasa muram.
Apakah pria berusia 48 tahun ini punya masalah di kantor yang membuat kariernya sebagai bankir terancam? Bram menggeleng. Atau sang istri berselingkuh? Ia kembali menggeleng. Lalu apa? ''Aku memang takut lama-lama istriku bakal selingkuh, sebab aku tak bisa memuaskannya lagi. Aku tak lagi perkasa seperti dulu,'' aku Bram pada sahabatnya.
Sejak beberapa bulan terakhir, Bram merasa ada yang tak beres pada dirinya sebagai pria. Kemampuan alat vitalnya untuk ereksi merosot tajam. Ia pun merasa cepat lelah dan tak bergairah. ''Apa yang mesti aku lakukan?'' tuturnya lirih.
Untunglah, ia punya sahabat yang baik dan berwawasan. Sang sahabat menyarankan Bram untuk segera berkonsultasi ke dokter spesialis andrologi. ''Lebih baik ke dokter, ketimbang pakai obat bebas yang nggakjelas manfaatnya,'' kata sang sahabat mengingatkan.
Tanpa membuang waktu, Bram pun memeriksakan diri ke dokter. Mencermati gejala-gejala yang diutarakan Bram, dokter lalu memintanya untuk menjalani pemeriksaan kadar testosteron. Dari pemeriksaan itu terlihat, kadar testosteron dalam darah Bramantyo di bawah 12 nmol/l. Padahal kisaran normalnya adalah antara 12 nmol/l sampai 40 nmol/l. Dokter pun menyatakan, Bram mengalami sindroma kekurangan testosteron (Testosterone Deficiency Syndrome / TDS). Bram tak sendirian. Cukup banyak pria seusianya yang mengalami keluhan serupa.
TDS pada pria adalah suatu keadaan di mana produksi hormon testosteron dari testis (kelenjar seks pada pria) tidak cukup dan mengakibatkan munculnya gejala-gejala kekurangan (defisiensi) hormon testosteron. Bertambahnya umur merupakan penyebab umum terjadinya TDS pada pria. Beberapa studi menunjukkan, TDS umumnya menyerang pria di atas 40 tahun. Massachusetts Male Aging Study pada 1991, juga Vermeulen Study pada 1972 membuktikan, aktivitas hormon testosteron menurun seiring dengan pertambahan usia. Pada usia 40 tahun, penurunan itu rata-rata mencapai 1,2 persen per tahun. Dan pada usia 70 tahun, pria akan kehilangan kira-kira 35 persen testosteron aktif alami yang dimilikinya.
Selain faktor usia, banyak pria dengan penyakit diabetes mellitus juga memiliki tingkat testosteron yang rendah. Begitu pun pria yang mengalami gangguan fungsi testis, keracunan, tumor, pasca operasi, dan sebagainya.
Fungsi testosteron
Seberapa penting sebenarnya kegunaan hormon testosteron bagi pria? Tentu saja sangat penting. Seperti dijelaskan Prof Dr dr Wimpie Pangkahila SpAnd FAACS, spesialis andrologi dan seksologi dari Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Udayana, Denpasar, Bali, testosteron sebenarnya tak hanya dimiliki kaum pria, tapi juga wanita. Peran hormon testosteron sangat diperlukan, baik pada masa janin (fetus), remaja, dan dewasa. ''Pada masa janin, testosteron berfungsi dalam proses diferensiasi organ seks untuk menjadi pria atau wanita,'' kata Wimpie saat berbicara dalam sebuah forum media edukasi bertema Waspadai Testosterone Deficiency Syndrome (TDS) pada Pria di Usia Produktif dan Usia Lanjut, di Jakarta, belum lama berselang.

Sementara pada masa remaja, testosteron berfungsi dalam perkembangan kejantanan sehingga muncul tanda-tanda fisik pria seperti munculnya dorongan seksual, fungsi ereksi, produksi sperma, perkembangan otot, suara yang membesar, pengaruh psikotropik, merangsang pembentukan sel darah, tumbuhnya rambut di wajah, ketiak, dan kelamin. ''Pada masa dewasa, testosteron berfungsi mempertahankan kejantanan, fungsi seksual, dan fungsi anabolik bagi kehidupan,'' terang ketua Pusat Studi Andrologi dan Seksologi pada FK Universitas Udayana ini.
Karena sebab-sebab tertentu, kadar hormon testosteron dalam tubuh bisa berkurang, hingga di bawah kisaran normal. Pada usia lanjut, kata Wimpie, defisiensi testosteron sering disebut dengan istilah ADAM (Androgen Deficiency in Aging Male) atau PADAM (Partial Deficiency in Aging Male). ''Istilah yang lebih populer adalah andropause,'' ujar dokter yang memperdalam andrologi di Universitas Airlangga, Surabaya, dan University of Washington, Amerika Serikat ini.
Yang kerap menimbulkan masalah adalah ketika defisiensi testosteron terjadi pada usia produktif. Masalah muncul, kata Wimpie, karena pada usia ini pria tetap harus bekerja dan menjalankan profesinya. Namun karena terjadi defisiensi hormon testosteron, maka banyak pria di usia produktif yang mengalami penurunan kualitas hidup sehingga produktivitas kerjanya menurun. ''Jadi pria dengan defisiensi testosteron adalah pria yang tidak normal karena kualitas hidupnya berkurang.''
Karena kekurangan hormon testosteron, seorang pria akan merasakan berbagai keluhan. Tak sekadar membuat resah, keluhan-keluhan itu bahkan bisa membuatnya depresi. Adapun keluhan umum yang dirasakan oleh pria penderita TDS adalah: rendahnya dorongan seksual, disfungsi ereksi dan menurunnya frekuensi ereksi, menurunnya massa dan kekuatan otot, penurunan massa tulang sehingga meningkatkan risiko fraktur (patah tulang), sulit konsentrasi, merasa lelah dan depresi, dan daya tahan tubuh menurun. Penderita TDS umumnya juga mengalami peningkatan massa lemak yang mengakibatkan komposisi tubuh berubah sehingga terjadi obesitas visceral. Obesitas jenis inilah yang membuat kebanyakan penderita TDS memiliki perut buncit. Kejadian penyakit kardiovaskuler di kalangan penderita TDS juga meningkat. ''Gangguan perasaan (mood) dan gangguan tidur juga meningkat,'' kata Wimpie.
Jika tidak diobati, penderita TDS akan terus-menerus mengalami keluhan itu. Dorongan seksual tetap rendah, disfungsi ereksi pun tak tertangani. Keadaan ini pada akhirnya bisa membuat penderita depresi berat.
Penanganan
Ketika seorang pria mengalami gangguan ereksi, merasa tak perkasa lagi, dan gejala-gejala TDS lainnya, tak jarang ia berusaha mengobati sendiri keluhan itu dengan membeli obat-obatan yang dijual bebas di pasaran. ''Hal ini memang banyak sekali terjadi di masyarakat kita,'' kata dr Nugroho Setiawan MS SpAnd, spesialis andrologi dari Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta.

Menurut Nugroho, mengobati TDS harus dilakukan di bawah pengawasan dokter. Hal senada dikatakan Wimpie. Bahkan Wimpie pernah meneliti obat herbal yang dijual bebas dan konon mampu meningkatkan kadar testosteron. Obat herbal itu diiklankan secara besar-besaran di media massa. ''Setelah saya teliti, ternyata obat herbal itu tidak ada efeknya sama sekali dalam meningkatkan testosteron,'' kata Wimpie. ''Menurut saya, masyarakat jangan mudah percaya dengan iklan. Apalagi jika yang diiklankan menyangkut produk-produk yang akan dikonsumsi, kita mesti hati-hati.''
Lalu, apa yang harus dilakukan ketika seseorang merasakan gejala-gejala TDS? Berkonsultasilah dengan dokter. Biasanya, dokter akan meminta pria dengan gejala TDS untuk menjalani pemeriksaan kadar testosteron. Jika benar menderita TDS, ia bisa diobati secara efektif dengan terapi testosteron yakni menambah testosteron dalam tubuh agar kembali pada kisaran normal. Seperti dijelaskan Nugroho, sediaan testosteron yang ada di Indonesia (mendapat izin dari BPOM) adalah: testosteron undecanoat kapsul 40 mg, mesterolone tablet 25 mg, testosteron propionat 30 mg, testosteron phenylpropionat 60 mg, testosteron decanoat 100 mg ampul, testosteron undecanoat (TU) 1000 mg ampul.
Untuk para penderita TDS di Indonesia, perusahaan farmasi Schering AG kini menyediakan terapi injeksi testosteron yang mengandung TU 1000 mg. Terapi terbaru ini memberikan dosis testosteron yang stabil dan konstan bagi tubuh dalam durasi yang panjang karena biasanya diberikan empat kali dalam setahun. ''Bila diberikan sesuai anjuran, injeksi TU 1000 mg dapat mengembalikan tingkat serum testosteron dalam kisaran normal,'' kata Nugroho.
Penelitian menunjukkan, TU 1000 mg mampu meningkatkan gairah seksual dan memperbaiki fungsi seksual, meningkatkan massa dan kekuatan otot, meningkatkan massa dan kekuatan otot, mengurangi lemak tubuh, dan memberikan efek positif pada suasana hati. Semua efek positif ini pada akhirnya dapat meningkatkan kondisi fisik dan kepercayaan diri penderita. Jarak penyuntikan yang cukup lama juga membuat nyaman penggunanya. Ini berbeda dengan terapi testosteron sebelumnya yang umumnya hanya dapat mempertahankan kadar testosteron dalam tingkat normal untuk periode jangka pendek, sehingga membutuhkan pemakaian obat yang berulang-ulang. Nah, dengan terapi terbaru ini, para pria hanya perlu mengunjungi dokter untuk mendapatkan injeksi TU 1000 mg, setiap tiga bulan saja.


Bisa Terjadi Lebih Dini
Defisiensi (kekurangan) hormon testosteron dapat menimbulkan berbagai gangguan, tergantung pada kapan dan seberapa luas defisiensi itu terjadi. Tak hanya pada pria usia produktif dan usia lanjut, defisiensi testosteron juga bisa terjadi pada kelompok usia yang lebih muda, bahkan pada janin (fetus). Seperti apa tanda-tanda kekurangan testosteron pada mereka, simak ulasan dari Prof Dr dr Wimpie Pangkalahila SpAnd FAACS, berikut ini.
Masa janin (fetus)
Defisiensi testosteron pada janin berusia 9-14 minggu bisa mengakibatkan interseksualitas dengan tidak adanya maskulinisasi pada organ seks bagian luar. Keadaan interseksualitas ini bervariasi mulai dari tampak seperti kelamin wanita sampai ke kelamin pria dengan hipospadia. Jika defisiensi terjadi pada masa akhir perkembangan (sampai sekitar 24 minggu kehamilan), dapat terjadi letak posisi testis tidak normal, penis kecil dan tidak berkembang (micropenis).

Pra remaja
Bila defisiensi testosteron terjadi setelah kelahiran namun anak belum memasuki masa remaja, maka virilisasi (kejantanan) tidak terjadi. Akibatnya muncul gejala eunuchoidism, yaitu tulang rawan epifise tidak berhenti tumbuh sehingga tulang lengan dan kaki menjadi panjang. Tanda lain yang terjadi adalah suara tidak berubah membesar, tidak tumbuh (sangat sedikit) rambut di wajah dan tubuh, rambut kelamin juga jarang, dan testis tidak berkembang.

Setelah masa pubertas
Bila defisiensi testosteron terjadi setelah anak memasuki masa pubertas, tanda yang terjadi bervariasi. Proporsi tubuh, suara, dan ukuran penis tidak berubah, namun rambut di tubuh dan wajah berkurang. Tanda yang penting adalah berkurangnya dorongan seksual dan fungsi ereksi, selain terjadi gangguan kesuburan bahkan kemandulan. Gejala lain adalah terjadinya osteoporosis (pengeroposan tulang), anemia, kelelahan, tenaga dan vitalitas menurun. Nah, kini cermati anak-anak Anda. Adakah tanda-tanda ini pada mereka?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar